First Created - December 20, 1998


Pos Indonesia Siap Menerjang Badai
[Swasembada, Wajah Usaha, August 1998]


Di tengah situasi perekonomian yang tidak menentu, PT Pos Indonesia berani mematok kenaikan laba bersih 13,5% tahun ini. Jurus apa saja yang dipersiapkan? Tak terlalu sulit membaca perkembangan PT Pos Indonesia (PI). Kalau dulu Pak Pos naik sepeda, kini pakai sepeda motor. Kalau dulu kantor-kantornya kuno (peninggalan Belanda), sekarang banyak berupa gedung modern dengan kaca mengkilat. Kalau dulu hanya memberi layanan fisik (surat, paket, wesel dan jualan prangko), kini punya layanan elektronik (Internet, electronic data interchange/EDI, warung pos Internet). Kalau dulu cuma bergerak di bisnis persuratan, kini telah merambah ke properti, transportasi, jasa keagenan hingga bank.

Cara lain, sekaligus termudah, untuk melihat kemajuan PI, tentu saja, dengan menyimak kinerja keuangannya. Awal Januari lalu, misalnya, dengan senyum bangga manajemen PI mengumumkan bahwa dari pendapatan Rp 655 miliar tahun lalu, perusahaan bisa memetik laba bersih Rp 80,17 miliar. Atau, peningkatan setinggi 17,9% dibandingkan laba bersih tahun sebelumnya yang Rp 68 miliar.

Untuk menjadi perusahaan besar dan sehat seperti yang kita lihat sekarang, PI telah mengarungi perjalanan yang amat panjang. Cikal bakal BUMN ini adalah ketika Gubernur Jenderal G.W. Baron van Imhoff mendirikan Kantor Pos yang pertama di Batavia pada 26 Agustus 1746. Peranan Kantor Pos kian penting dan berkembang dengan ditemukannya teknologi telegrap dan telepon, sehingga dibentuk Jawatan Pos, Telepon dan Telegrap (PTT) pada 1907.

Setelah melewati masa penjajahan Belanda dan Jepang, barulah pada 27 September 1945 didirikan secara resmi Jawatan PTT Republik Indonesia. Tahun 1961 namanya diubah menjadi Perusahaan Negara Pos dan Telekomunikasi (PN Postel). Tahun 1965 diubah menjadi PN Pos dan Giro. Selanjutnya, tahun 1978 ganti nama menjadi Perusahaan Umum (Perum) Pos dan Giro.

Akhirnya, sejak 20 Juni 1995, statusnya naik menjadi persero dan namanya pun diganti menjadi PT Pos Indonesia.

Sejak perubahan status dari perum menjadi persero itulah, perkembangan PI seperti anak panah yang dilepas dari busurnya. Segalanya bergerak amat cepat. Bukan saja pengembangan produk layanan yang terkait langsung dengan bisnis intinya, tetapi juga ekspansi ke berbagai bidang usaha yang (kalau dilihat sepintas) tampaknya tak ada kaitan dengan bisnis intinya.

Sebagai perusahaan di bidang penyedia sarana komunikasi, agar tetap kompetitif, PI mau tidak mau terus berpacu dengan pesatnya perkembangan teknologi informasi. Karena itu, di bisnis intinya, selain memperkokoh layanan fisik atau tradisional (pengiriman surat, paket, uang dan layanan filateli), PI juga terjun ke layanan elektronik.

Di bidang layanan elektronik, PI mendirikan Wasantara-net yang menyediakan lima fasilitas utama. Pertama, Internet, yang melayani akses ke informasi global melalui fasilitas surat eletronik (E-mail), transfer file, dan akses informasi ke world wide web. Kedua, EDI, yang mampu membentuk jaringan informasi berbasis data seperti AgroNet, EkoNet dan SosioNet. Ketiga, Hybrid Mail yang mencakup layanan surat bisnis elektronik, direct mail, weselpos elektronik dan telegram. Keempat, intranet, yang memberi layanan pengembangan jaringan ke perusahaan (organisasi) dengan menerapkan teknologi dan arsitektur Internet. Kelima, Warposnet (Warung Pos Internet) atau sarana pengakses Internet yang disediakan di setiap kantor pos dalam jaringan Wasantara-net -- masyarakat dapat menikmati semua fasilitas Internet, tanpa harus memiliki komputer pribadi.

Wasantara-net beberapa waktu terakhir ini boleh dibilang mendapat rezeki dadakan. Seperti diketahui, krisis ekonomi telah menyebabkan banyak provider Internet gulung tikar. Sehingga, banyak pelanggan mereka kemudian pindah ke Wasantara-net. Ini diakui Direktur Utama PT Pos Indonesia Cahyana Ahmadjayadi. "Lumayan sih. Tapi, kontribusinya berapa, belum kami hitung," ujarnya.

Selain bisnis inti tersebut, PI juga merambah ke bisnis lain yang disebutnya sebagai usaha penunjang. Tercakup dalam jasa penunjang ini adalah usaha properti (layanan penyewaan ruang atau tempat), transportasi, freight & forwarding, belanja lewat pos, aneka jasa keagenan, serta bank.

Di antara usaha penunjang, menarik diamati sepak-terjang PI di bisnis perbankan, yakni melalui Bank Pos. Saham PI di Bank Pos hanya 15% (saham terbesar milik PT Telekomindo Kapital, 67,75%), tetapi sukses-tidaknya bank ini di masa depan akan sangat tergantung pada aset luar biasa yang dimiliki PI: Jaringan di 27.448 titik pelayanan di seluruh pelosok Tanah Air. Karena itulah, bank yang tadinya bernama Bank Radjawali ini, sejak tahun lalu diubah namanya menjadi Bank Pos.

Perubahan nama itu sekaligus menandai perubahan orientasi. Jika semasa bernama Bank Radjawali konsentrasinya ke korporat, setelah bernama Bank Pos orientasinya ke ritel. Salah satu produk andalannya, kata Cahyana, Pinjaman Kilat (Pikat). "Segmennya memang pedagang kecil. Pinjamannya hanya Rp 250 ribu. Yang penting, prosesnya bisa cepat. Ini wujud misi sosial bank Pos yang sudah direncanakan sejak 1971," ujarnya.

Menghadapi ketentuan modal minimum Rp 1 triliun, Cahyana mengaku sedang dipikirkan. "Tapi, sampai sekarang belum ada merger. Kami kan harus lapor dulu ke komisaris. Kemungkinan, baru April 1998 ini kami laporkan," ujarnya. Besar kemungkinan, tambahnya, bank yang dipilih sebagai mitra merger adalah bank yang sekelas dan punya sinergi dengan Bank Pos, agar penyertaan PI tidak tenggelam.

Berdasarkan semua prestasi itu, tahun ini PI menargetkan laba bersih setinggi Rp 91 miliar, atau naik 13,51% dibandingkan laba bersih tahun lalu. Adapun pendapatannya ditargetkan Rp 774 miliar atau naik 18% dari tahun lalu. Mampukah PI mencapai target tersebut di tengah perekonomian Indonesia yang remuk redam ini? Menurut taksiran manajemen PI, selama Januari-Februari lalu saja, tingkat produksi PI ternyata turun 15%-20% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Ini disebabkan, misalnya, naiknya harga amplop surat yang akhirnya mempengaruhi turunnya volume pengiriman surat. Belum lagi, biaya transportasi PI juga turut meningkat. "Karena itu, kami harus all out," tegas Cahyana.

Jurusnya? Lima direktur, termasuk Cahyana, harus merangkap sebagai sales person dengan tugas utama menjaring pelanggan kakap (golden customer) baru. Yakni, perusahaan atau lembaga yang dalam operasional sehari-harinya diperkirakan banyak menggunakan jasa PI. Misalnya, surat kabar. "Kami sudah bekerja sama dengan Grup Gramedia," kata Cahyana mencontohkan. Kelompok-kelompok usaha seperti inilah yang kini sedang diburu PI. "Siapa saja dan lembaga mana, silakan. Yang jelas, bila menggunakan jasa kami, mereka tentu akan memperoleh keuntungan," tambahnya, seakan sedang mempraktekkan kepiawaiannya ber-sales person.

Jurus berikutnya, memantapkan pemasaran produk-produk baru yang telah diluncurkan tahun ini. Misalnya, surat elektronik. Produk baru ini (berisi 100 kata) memudahkan mereka yang ingin mengirim E-mail ke daerah/orang tertentu, meskipun si penerima belum memiliki PC. Caranya, pengirim melayangkan E-mail ke kantor pos yang paling dekat dengan si penerima. Oleh PI, surat tersebut kemudian dicetak, Lalu, dikirim ke orang yang dituju. Harganya, di loket PI, tertera Rp 1.250. Kalau diambil dari rumah si pengirim, tentu lebih mahal sedikit.

Jurus lainnya lagi, melakukan penyesuaian harga terhadap surat atau paket yang dikirim ke luar negeri. "Kami hanya menyesuaikan," tandas Cahyana sambil menambahkan bahwa dalam bisnis paket, PI termasuk tiga besar di Indonesia. Pangsanya sekitar 15% dari total paket yang tahun lalu mencapai 3,5 juta paket. Selain yang di atas tadi, direksi juga dituntut menghasilkan peluang baru, apapun bentuknya.

"Ini harus, agar kami bukan saja bisa survive, tapi terus tumbuh dan berkembang. Sebelum matahari 1 Januari 1999 muncul, kami tidak boleh berhenti berkreasi," katanya berapi-api. "Peluang itu pasti ada, karena PI punya 11 jaringan kerja yang tersebar di seluruh Indonesia yang mencakup 27.448 titik pelayanan. Jadi, banyak sekali yang bisa kami lakukan,"

Untuk menopang ambisinya itu, kata Cahyana, peningkatan kemampuan karyawan memang tak bisa ditawar-tawar lagi. Dan, buat dia, itu memang komitmennya ketika ia diangkat sebagai dirut tiga tahun silam, yakni dengan terus-menerus meningkatan kemampuan dan kesejahteraan karyawan. "Sumber daya manusia adalah human investment. Tanpa itu semua, susah mencapai perkembangan seperti sekarang. Dan ini terus kami galakkan, karena di sinilah sebenarnya kekuatan kami." (o)

Harmanto Edy Djatmiko

Reportase: Paulus Pandiangan.



Back to Clippings Philately | HOME