|
Masih Bertumpuk Permasalahan Filateli Indonesia
TOKYO (LoveIndonesiaPhilately) -
Ternyata sampai dengan hari ini pun, benang kusut filateli di
Indonesia masih bertumpuk. Perkembangan 80 tahun (29 Maret adalah
Hari Filateli Indonesia, pertama kali didirikan Perkumpulan Filatelis
Indonesia), ternyata belum meredakan kesemrawutan permasalahan.
Hal ini terungkap setelah penulis melakukan pertemuan kedua kali
dengan para filatelis Indonesia beserta pihak Pos Indonesia di Kantor
Filateli Jakarta, tanggal 22 Maret dalam kunjungan ke Indonesia.
Mulai dari terbitan prangko kaget, tidak tepat waktu, benda filateli
tertentu hanya tersedia di Jakarta dan Bandung saja, sampai dengan
terbitan prangko Prisma - gaya baru dunia filateli saat ini - yang
terbukti nyata-nyata melanggar aturan UPU maupun perfilatelian.
Kita lihat saja paling gampang terbitan prangko Ucapan Selamat yang
dijadikan Prangko Prisma (PP). Pencetak PP ini ternyata dari kalangan
swasta dan bukan PT Peruri yang biasa merancang dan mencetak prangko
Indonesia.
Penulis kaget bukan main melihat beda prangko asli dengan PP. Desain
serupa tapi tak sama. Belum lagi perforasi ganda bertumpuk. Praktis
PP Ucapan Selamat ini amburadul, tidak keruan. Meskipun Pos berdalih
ada keterangan lengkap mengenai penerbitan PP tersebut, namun
kesalahan pokok sangat banyak.
Kesalahan utama, penerbitan PP tersebut tidak diagendakan terbit
pertamanya. Tidak ada yang tahu (bagi publik), kapan PP tersebut
terbit pertama kali. Mengapa dikatakan terbit pertama kali? Dengan
desain yang (sedikit) berbeda dengan prangko Ucapan Selamat aslinya,
praktis PP tersebut harus merupakan satu seri penerbitan sendiri,
diumumkan sebelumnya secara luas kepada publik, barulah dikeluarkan
atau diterbitkan.
Mengapa disebut prangko serupa tapi tak sama? Karena ukuran prangko
pada PP tersebut jelas berbeda (lebih besar) dibandingkan dengan
penerbitan prangkonya saja.
Satu ketentuan pokok yang tidak dimengerti Pos adalah, bahwa PP atau
Carik kenangan (souvenir sheet) adalah prangko, bukan mahluk asing,
bukan benda lain, tapi ya prangko.
Ketentuan ini dilanggar habis-habisan oleh PT Pos Indonesia. Bila
kita lihat Pos sebagai sisi penjual, maka jelas-jelas Pos telah
berbuat sangat komersial, mengeksploitasi masyarakat, tidak sopan dan
melanggar ketentuan perfilatelian atau pun ketentuan dari UPU yang
telah ada. Kita lihat saja ketentuan UPU misalnya Kode Etik Filateli
dari UPU pasal 7 berbunyi: Postal administrations shall not produce
postage stamps or philatelic products that are intended to exploit
customers.
Lalu bagaimana membuktikan "intended to exploit"? Terbukti tidak ada
pengumuman apa pun sebelumnya mengenai penerbitan PP (Ucapan Selamat)
tersebut kepada publik. Mengapa harus dijadikan satu penerbitan
sendiri? Karena memang semua lain. Desain lain, ukuran lain, warna
(sedikit) lain, juga gigi cetak (perforasi) lain, bahkan kacau.
Apakah bisa dikatakan sama dengan prangko aslinya (hanya prangko
Ucapan Selamat itu) ?
Apabila kita mengacu kepada Peraturan UPU dari Konvensi Seoul itu
pasal RE501 ayat 1 tertulis: Each new issue of postage stamps shall
be notified by the administration concerned to all other
administrations, with the necessary information, through the
intermediary of the International Bureau.
Penulsi tidak yakin Pos Indonesia memberikan informasi tanggal terbit
Prangko dan PP yang sama. Bila dalam informasi, khususnya terbitan PP
tersebut, diberikan dengan tanggal terbit sama dengan prangkonya,
berarti Pos telah berbohong besar karena penerbitan PP tersebut tidak
bersamaan dengan tanggal terbit prangko. Kalaupun bersamaan, mengapa
tak diumumkan pula penerbitan prangko bersamaan dengan PP-nya saat
itu. Kemudian, apabila diterbitkan berbeda tanggal terbitnya, mengapa
pula tak diumumkan. Semua berpulang kepada ketidakmengertian bahwa PP
adalah PRANGKO juga, bukan benda lain.
Mengapa PP sama dengan prangko, karena isi PP, dengan perforasi
mengitarinya, bila dilepaskan dari kuping atau marginnya, maka bisa
ditempelkan ke amplop surat, jadi sebagai alat bayar. Bayangkan
prangko serupa tapi tak sama, bila dijejerkan dan ditemui orang yang
sama, apalagi tak mengerti soal filateli, termasuk banyak orang Pos
juga tak mengerti filateli, maka akan ribut, disangka prangko palsu
salah satunya, serupa tapi tak sama. Belum lagi kalau sampai ke luar
negeri, katakanlah pihak UPU mendapatkan hal serupa, dua amplop surat
dengan prangko serupa tapi tak sama, apakah mereka tak mencurigai dan
mengusutnya, setidaknya minta konfirmasi kepada pihak Pos Indonesia?
Masalah lain dalam diskusi filateli kali ini ternyata masih berulang
kejadian sama seperti di waktu lalu yaitu penerbitan kagetan.
Meskipun tidak separah di waktu lalu, penerbitan kagetan masih
terjadi hingga detik ini di Indonesia. Antara lain karena si peminta
adalah pihak Menteri, misalnya. Tingkatan menteri lebih tinggi dari
Dirjen Postel sang penerbit prangko. Demikian pula lebih tinggi dari
Kasubdit Prangko dan Perfilatelian yang mengetuai Dewan Pembina
Perfilatelian Indonesia.
Itulah sebabnya, salah satu usulan penulis, dibuat Tim Pembina dengan
Ketua, hanya Ketua, orang independen atau profesionalis, bukan dari
pemerintahan, sehingga mampu menolak permintaan dadakan, katakanlah
dari pihak Menteri. Sedangkan anggota Tim tidak berbeda dengan
sekarang. Tim ini juga harus diberikan otorisasi penuh untuk
mengesahan atau menolak rencana penerbitan prangko. Namun Ketua tim
ini ditunjuk, diangkat dan biaya Tim ditanggung oleh pemerintah.
Pembentukan tim profesional ini bukan berarti membuat dualisme
rencana penerbitan prangko, tetapi sebaliknya justru untuk
mempertegas jalur proses penerbitan prangko dan bisa melihat jelas
nantinya siapa yang bersalah, tidak simpang sliwer atau saling tuduh
seperti sekarang ini apabila ada kesalahan dalam penerbitan prangko.
Seorang Tim Pembina, Pringgodiprodjo BSc, mantan pejabat pos, juga
mengecam pihak penerbit prangko yang tidak mendengar keluhannya.
Misalnya rencana penerbitan prangko HUT Antara 13 Desember mendatang.
Prangko tersebut tanpa dasar yang kuat, bahkan melanggar SK Dirjen
Postel sendiri (Nomor 81/Dirjen/2000 tanggal 19 Juli 2000 ), akan
diterbitkan Desember 2002 dalam memperingati HUT-nya bukan kelipatan
25 tahun. Padahal dalam SK Dirjen nyata-nyata disebutkan penerbitan
prangko dimungkinkan hanya untuk kelipatan 25 tahun (Pasal 17).
Peraturan dibuat untuk dilanggar. Kesalahan yang terjadi dalam
penerbitan prangko saling tuduh. Filatelis pun jadi korban bahkan
kembali disalahkan karena banyak kritik sehingga tidak laku
penjualannya. Mau ke mana kah perfilatelian Indonesia? Pos bolah dan
harus maju. Namun tolonglah, agar mengikuti jalur-jalur yang ada dan
jangan main terobos dan melanggar aturan yang telah ada. Fleksibel
memang bisa dilakukan sepanjang mengikuti aturan yang ada. Inilah
patokannya.
Richard Susilo
HOME | Today's News | Shopping Copyright 1999-2002
© SuratkabarCom Online
|