suratkabar.com

Domain For Sale

suratkabar.com

News Indonesia SuratkabarCom

A Gift For You.....

Perkawinan Dua Budaya Hasilkan Prangko Inisiatif BaruĊ@
22/02/2003 (21:00)

Click Here to Send Messege

[Kirim Pesan]

TOKYO (LoveIndonesiaPhilately) - Penerbitan prangko adalah wakil dari kebudayaan setempat dan juga budaya internasional. Perkawinan dua budaya ini yang perlu mendapat perhatian kita semua sebagai pengumpul prangko.

Tentu faktor lain juga ikut mempengaruhi sebuah penerbitan prangko. Katakanlah, tujuan dari penerbitan prangko, misalnya untuk kampanye Keluarga Berencana, atau bahkan untuk membantu kegiatan sosial setelah gunung meletus, dan sebagainya.

Namun yang jelas bagi para pengumpul prangko, sebuah penerbitan prangko bukan asal terbit, apalagi kalau hanya sekedar untuk menarik keuntungan belaka dari si penerbit prangko. Bahkan hal ini nyata-nyata tertulis dalam kerentuan atau regulasi yang telah disepakati kalangan internasional, taruhlah nama UPU - Uni Pos Dunia.

Olehkarena itu semua hal terkait dengan penerbitan prangko tidak bisa asal terbit saja, tetapi harus mengikuti segala ketentuan baik nasional maupun internasional, termasuk pula norma-norma yang ada di sekeliling kita.

Bicara soal norma, lihat saja penerbitan prangko LKBN Antara 13 Desember 2002. Jelas-jelas hal ini sangat tidak mengikuti norma-norma sosial yang ada. Banyak kalangan pengumpul prangko yang telah jauh hari, bahkan setahun sebelum penerbitan, sudah wanti-wanti dan sangat berharap tidak ada penerbitan itu, karena memang tidak ada landasan hukumnya, ternyata tetap saja terbit. Seolah tak ada lagi pengumpul prangko di Indonesia. Cuek, tak mau tahu. Mungkin ada baiknya kalau sang penerbit Prangko Antara itu berpikir terbalik, seandainya para pengumpul prangko Indonesia, semuanya melakukan cuek, tak mau menyentuh atau pun membeli prangko Indonesia - dan hal ini bisa dilakukan kalau kita melakukan gerakan nasional besar-besaran anti prangko Indonesia - maka tentu bukan sekedar kesal menghadapi hal itu, tetapi si penerbit prangko bisa bangkrut dan menyusahkan semua pihak pada akhirnya.

Pantaslah apabila kita semua jangan hanya memikirkan diri kita sendiri, jangan menjadi pihak yang sok berkuasa - terutama sebagai penerbit prangko, maka bisa sewenang-wenang asal menerbitkan prangko.

Alangkah manis dan baik apabila penerbit prangko bisa bekerjasama dengan baik, menghasilkan sinergi bersama para pengumpul prangko. Mengapa? Karena kedua pihak sebenarnya anak kembar yang seharusnya malah bekerjasama dengan baik untuk menciptakan hasil terbaik, bukan malah sebaliknya.

Satu hal sederhana untuk bisa menciptakan karya yang menarik bisa kita intip karya negara tetangga kita, Singapura. Prangko tanpa nilai nominal bukan hal baru. Amerika Serikat misalnya, mungkin sejak 20 tahun lalu sudah pernah menerbitkan seri prangko tanpa nilai nominal.

Prangko (lihat gambar) Singapura ini selain berbau lingkungan hidup - satu hal yang mesti kita perhatikan semua - juga memiliki desain yang baik walau sederhana.

Penulisan "For Local Addresses Only" jelas-jelas menekankan bahwa satu prangko itu memang hanya bisa dipakai untuk pemrangkoan di dalam Singapura. Tentu saja punya harga dan apabila ditempelkan beberapa prangko, misalnya 4 prangko, berisi surat satu atau dua lembar ukuran A4, maka surat dengan 4 prangko tersebut bisa sampai ke berbagai negara di Asia, misalnya bisa dikirimkan ke ke Jepang.

Apa lagi yang menarik dari prangko tanpa nominal ini? Coba lihat tepian prangko, ternyata tanpa gigi. Juga, prangko ini tak perlu lagi repot menempelkan karena terbuat menjadi semacam prangko stiker, lepaskan dari kertasnya dan tempelkan begitu saja ke amplop surat.

Nah, mengapa Indonesia tak mencoba penerbitan semacam ini? Tidak mudah dalam pelaksanaan di lapangan karena perlu sosiaslisasi dulu yang memakan waktu lama, atau ada faktor lain? Mungkin takut disebut penjiplak model prangko orang lain?

Ingatlah selalu pepatah, banyak cara menuju Roma. Kalau kita mau dan ada niat untuk melakukan hal itu, pasti akan ada cari yang bisa ditempuh sehingga hambatan yang ada pun bisa kita atasi bersama dengan baik.

Untuk itu perlu diingat pula, konsultasi dengan para filatelis di Indonesia perlu dilakukan pula, jangan merasa hebat sendiri karena memiliki akademi atau perguruan tinggi sendiri, karena titel MBA atau Dokter dan sebagainya. Ini filateli bung, bukan dunia pendidikan murni yang bisa dimengerti satu tambah satu sama dengan dua.

Moga-moga saja menjadi perhatian kita semua akan upaya peningkatan mutu dan sekaligus memperhatikan keberadaan filatelis Indonesia, jangan sampai diabaikan lagi deh!

Richard Susilo


HOME | Today's News | Shopping | Add URL

Copyright 1999-2003 © SuratkabarCom Online