suratkabar.com 
 
 
Domain For Sale

suratkabar.com 
Love Indonesia Philately
A Gift For You.....

Usaha Jasa Pengiriman Ekspres - Minimal Jadi Tuan Rumah di Negara Sendiri  
02/07/2002 (00:00)


Gudang Ericsson - Dari gudang Ericsson yang dikelola Pandu Logistics inilah, telepon genggam disalurkan ke pasar. Peti-peti yang terlihat disini berisi telepon genggam, tertata rapi sesuai dengan manajemen arus lalu-lintas keluar dari gudang yang berlokasi di kawasan industri Pulo Gadung. - Kompas/Dudi Sudibyo

MENGHADAPI globalisasi AFTA 2003 yang tinggal hitungan bulan, minimal usaha jasa pengiriman ekspres bisa menjadi tuan rumah di negaranya sendiri. Tidak mudah, selain berpacu dengan waktu, secara fisik ditunggu undang-undang (UU) yang jelas di bidang usaha jasa pengiriman. Tidak kalah pentingnya, menertibkan ribuan usaha ini yang tumbuh subur bak di musim hujan. Belum lagi sarana dan prasarananya agar mampu bersaing dengan usaha sejenis asing yang bakal masuk pada era AFTA. Jika kita melihat ke belakang, usaha jasa pengiriman sebenarnya bukanlah bisnis baru di negeri ini. Banyak pelajar dan mahasiswa di masa silam amat mengandalkan biro jasa travel 4848 maupun Elteha (sekarang LTH) bagi uang saku kiriman orangtua mereka. Selain uang, juga segala keperluan lainnya. Ada pula orangtua yang menggunakan jasa PO bis-singkatan Perusahaan Otobis-menitipkan keperluan anaknya yang sedang menuntut ilmu di ITB, perguruan tinggi lain di Bandung atau menjadi mahasiswa UI di Jakarta.

Di Scan - Semua dokumen dan paket yang datang dari hub UPS di bekas pangkalan udara AS di Filipina, setibanya di bandara Halim Perdanakusuma harus di scan dengan mesin ini. Setelah proses itu selesai dokumen-dokumen yang telah scanning, kemudian disortir sesuai daerah tujuannya. - Kompas/Dudi Sudibyo

Itulah sekelumit gambaran embrio dari jasa kurir yang sekarang kita kenal di Tanah Air. Memasuki akhir dekade 1960 dan awal dekade 1970, penitipan uang, terutama barang sudah lebih profesional ditangani dengan tumbuhnya perusahaan courier services. Nama-nama seperti Titipan Kilat yang didirikan oleh suami-istri Suprapto, kemudian berubah nama sekarang menjadi Tiki. Sampai detik sekarang pun, usaha Suprapto ini masih melayani jasa pengiriman uang bagi mereka yang membutuhkan jasa tersebut.

Skypak, DPE, Usaha Express dan puluhan lainnya kemudian bermunculan di Kota Jakarta pada penutupan dekade 1970 dan sekitar pertengahan dekade 1980. Sejak itu hingga sekarang ratusan usaha kurir bermunculan baik yang resmi maupun tidak memiliki izin usaha.

"Kalau di seluruh Indonesia ada 634 anggota Asperindo. Jenis usaha jasa seperti ini sangat mudah tumbuh sesuai dengan kebutuhan. Perusahaan taksi atau ravel pun di daerah banyak yang melakukan kegiatan kirim-mengirim ini dengan izin, tetapi bukan izin jasa pengiriman," ungkap Johari Zein, Ketua Umum Asosiasi Perusahan Jasa Pengiriman Ekspres Indonesia (Asperindo).

Jika dipilah usaha jasa pengiriman, menurut Johari, mungkin ada empat kategori yang selama ini dibina oleh asosiasi. Pertama adalah perusahaan yang mempunyai izin dari Dirjen Postel, menyusul kemudian perusahaan yang memiliki izin tetapi belum menjadi anggota Asperindo.

Ketiga adalah mereka yang memiliki izin untuk usaha lain tetapi menjalankan kegiatan jasa pengiriman ekspres. "Kategori keempat adalah antara ada dan tidak ada tetapi kita yakin ada adalah perusahaan yang beroperasi tanpa izin," jelasnya.

Selain ini, ada perusahaan yang memiliki izin jasa kurir tetapi tidak menjalankan usahanya. Yang betul-betul aktif, menurut catatan Asperindo, kurang lebih 300-an di Jakarta. Salah satu contohnya adalah 4848 sudah mengantungi izin dan sekarang aktif menjadi anggota. Namun, masih banyak perusahaan travel di daerah Kalimantan, Sumatera, dan daerah lainnya beroperasi tanpa izin usaha jasa pengiriman.

Menghadapi AFTA, ia pertegaskan mereka harus ditertibkan dan kalau bisa dibina, diberi wawasan mengenai perkembangan yang terjadi di dunia. Dengan demikian, menghadapi era globalisasi tersebut, mereka sudah bisa mengadaptasi dengan kualitas bersaing sama jasa luar negeri. Jika tidak, dikhawatirkan mudah sekali perusahaan asing masuk ke Indonesia akibat perusahaan nasional tidak mampu memberi layanan kualitas yang sama.

Manfaat lain bila anggota Asperindo ini berkualitas dalam layanannya, mereka tidak butuhkan bantuan tangan ketiga untuk mencari customer langsung. Sebaliknya, perusahaan asing sejenis yang ingin beroperasi di Indonesia diharapkan pula dapat disaring sehingga yang masuk adalah perusahaan-perusahaan yang punya nama baik.

Kenapa demikian? Karena, menurut Johari Zein, pernah asosiasi menjumpai suatu kasus buruk. Perusahaan asing di luar negeri ingkar bayar dan sewaktu dilacak perusahaan tersebut tidak jelas keberadaannya. Kasus semacam itu diharapkan tidak terulang lagi dalam era AFTA mendatang.

Kepada pemerintah, asosiasi pernah mendesak untuk membuat undang-undang yang bisa menjamin kehidupan industri ini di Indonesia. Saat ini, memang bersama pemerintah, Asperindo sedang mengajukan sebuah Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang perposan. Sebab UU yang sekarang berlaku, yakni UU No 6 Tahun 1984 sudah dirasakan ketinggalan zaman. Sudah tidak bisa lagi mengakomodasi kegiatan jasa pengiriman ekspres. Salah satu contoh yang diberikan, PT Pos Indonesia masih disebut giro pos.

Contoh lainnya yang diberikan, berdasarkan UU No 6 tersebut menyebutkan, apa-apa yang tertulis dimasukkan dalam amplop tertutup itu adalah surat. "Jadi kalaupun satu lembar tripleks dimasukkan dalam amplop lalu dilem, itu jadi surat. Begitu pengertiannya oleh pemerintah. Arti lain adalah sebetulnya sekarang ini usaha kami harus ditutup semua," jelasnya.

Bila itu terjadi apa yang bakal terjadi dengan ekonomi Indonesia? Sebab harus diakui perusahaan jasa pengiriman ekspres sangat dibutuhkan oleh dunia bisnis dan dagang karena bisa memberi jasa cepat, aman dan bertanggung jawab. Dalam layanannya dapat trace and track - dapat melacak keberadaan kiriman yang sedang berjalan- di mana pun keberadaannya. Inilah salah satu kelebihan yang diberikan swasta dibanding jasa Pos Indonesia, yang karena banyak pekerjaan ditangani, kurang mampu menangani pelayanan trace and track seperti yang diberikan pihak swasta nasional.

Johari menambahkan bahwa pada kenyataannya masyarakat mengharapkan punya pilihan apabila mereka ingin mengirim sesuatu. Dengan biaya murah, misalnya pakai perangko, mereka bisa memilih jasa pos. Sebaliknya bila mengirim sesuatu yang dikhawatirkan segi keamanan dan tanggung jawab, umumnya mereka menggunakan jasa pengiriman ekspres. Jadi katanya, alangkah baik Pos Indonesia dan pihak pemberi jasa pengiriman ekspres saling mengisi kebutuhkan masyarakat tersebut.

***

Perjuangan untuk mengubah UU No 6 Tahun 1984 sebenarnya sudah dilakukan sejak berdirinya Asperindo pada tahun 1986. Selama ini jalur perjuangannya adalah melalui jalur pemerintah. Artinya asosiasi mengajukan usulannya ke Direktur Jenderal kemudian pejabat tinggi ini meneruskannya ke menteri.

Ia mengakui, memang sudah ada kemajuan, tahun lalu terbentuk Kelompok Kerja di Ditjen Postel di mana unsur Asperindo diikutsertakan, juga unsur Pos Indonesia. Pokja ini sudah bekerja sampai R-15, Rancangan Ke-15. Sudah berkali-kali diadakan pertemuan tetapi sampai saat ini belum ada kesepakatan. "Utamanya karena kita di Asperindo berbeda pendapat dengan Pos Indonesia di mana mereka merasakan masih perlu mempertahankan monopoli pos. Sementara kita melihat sebaiknya monopoli pos itu dilepas," ujar Johari.

Asperindo mengambil contoh jasa telekomunikasi sudah terbuka untuk swasta. Manfaatnya setelah swastanisasi, bermunculan wartel-wartel yang memberi peluang lapangan kerja. Dalam bidang jasa pengiriman, Aperindo juga melihat kemungkinan peluang yang sama. Mungkin pula akan muncul perseorangan akan memberi jasa mengantar surat atau paket dari desa ke kantor pos terdekat di suatu kota. Itu adalah salah satu dari sekian banyak peluang yang mungkin bakal terbuka bila monopoli pos dihapus.

Sementara ini, kata Johari, mengenai rancangan UU itu terhenti sampai R-15. Itu pun sampai R-15 pun sebenarnya Asperindo dikesampingkan karena sejak R-10 asosiasi tidak diajak tukar pikiran. Tiba-tiba saja muncul R-15 pada bulan September 2001.

Jelas, tambahnya, R-15 tidak mencerminkan suara Asperindo. "Persoalannya kalau memang ada perbedaan, kenapa tidak dua-duanya dibawa saja ke DPR, silakan anggota DPR yang terhormat memutuskan. Tetapi jangan seperti sekarang masih mengendap di Dirjen," ujarnya.

Karena sudah mendesak untuk Indonesia memiliki UU yang jelas di bidang yang digeluti Asperindo, serta mengingat AFTA sudah di depan pintu, tiga bulan lalu mereka menghadap DPR untuk menyampaikan RUU versi Asperindo. DPR, katanya, sangat akomodatif, bulan Mei, DPR membentuk Panitia Kerja. Usulan Asperindo tersebut ternyata menjadi prioritas untuk tahun ini. "Insya Allah tahun ini juga melalui DPR UU baru itu disahkan," katanya berharap.

Diharapkan peluang-peluang baru bakal bermunculan setelah UU baru itu terbit. Sudah dapat diramalkan pula akan menjadi stimulan bagi ekonomi rakyat, sebab contohnya sudah banyak di luar negeri setelah dibuka, perekonomian rakyat menjadi bergairah tinggi.

Kendala lain dihadapi usaha jasa pengiriman ekspres adalah kurang tersedianya tenaga di bidang ini. Tidak lain disebabkan oleh tidak adanya sekolah jasa pengiriman. Untuk mengatasinya, Asperindo bekerja sama degan Pos Indonesia mendidik calon tenaganya di fasilitas Litbang Pos Indonesia di Kota Bandung.

Karena tahun ini merupakan tahun pertama kerja sama tersebut, hasilnya di hari depan akan memenuhi kebutuhan perusahaan jasa ini. Mungkin pula dari godokan di Bandung akan muncul pula wiraswastawan usaha jasa pengiriman ekspres. (DS/HW/Kompas)


HOME | Today's News | Shopping 

Copyright 1999-2002 © SuratkabarCom Online