|      |  
Bukan Cuma Proof Prangko yang Perlu Diawasi
 
 
 
PRANGKO OLIMPIADE - Sebuah esai dalam bentuk "photographic bromide" 
yang merupakan desain prangko Ghana sebelum dicetak. Namun, desain 
ini ditolak dan diganti dengan desain lainnya. Walaupun ditolak dan 
tak jadi diterbitkan, benda ini dinilai masih berharga sekitar US$ 
200-US$ 250.
  
Demikian pula, jangan sampai prangko salah cetak, bisa lolos dari 
pengecekan dan keluar dari percetakan.
 
Baik prangko proof maupun prangko salah cetak memang banyak digemari 
para filatelis atau mereka yang senang mengoleksi prangko dan benda-
benda filateli lainnya. Bahkan harganya berkali-kali lipat 
dibandingkan prangko biasa.
Å@ 
Namun sebenarnya bukan hanya proof dan prangko salah cetak saja yang 
nilainya tinggi sebagai benda filateli. Banyak benda yang dibuat 
dalam proses penerbitan prangko mempunyai nilai tinggi di kalangan 
filatelis. 
 
Jadi seharusnya dalam pembuatan desain prangko, sejak awal sudah 
diawasi dengan ketat. Jangan sampai ada desain, seminimal apa pun, 
yang bisa keluar dan dijual ke kalangan filatelis. Artwork dalam 
bentuk gambar yang dibuat dengan pinsil, cat air, crayon, atau hasil 
kreasi desain dengan menggunakan komputer, harus diawasi oleh 
Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi (Ditjen Postel) sebagai 
pihak yang mempunyai wewenang menerbitkan prangko di Indonesia, agar 
jangan sampai bisa keluar dan dijual kepada filatelis. 
 
Dalam pelaksanaannya, para desainer yang ditugasi membuat desain 
prangko, percetakan prangko, dan PT Pos Indonesia (Posindo), harus 
terlibat pula mengawasi hal tersebut.
 
Bernilai Tinggi
 
Mengapa hal ini perlu diawasi? Sesungguhnya, sejak desain awal 
dibuat, itu sudah merupakan bagian dari proses penerbitan prangko. 
Lebih dari itu, di kalangan filatelis, benda-benda seperti artwork 
desain prangko justru bernilai tinggi. Bukan hanya untuk artwork yang 
disetujui untuk dicetak menjadi prangko, tetapi juga untuk benda 
sejenis yang ditolak bahkan tidak jadi diterbitkan. Di kalangan 
filatelis mancanegara, harga benda-benda semacam itu bisa bernilai 
sampai ratusan dollar.
 
Jadi, bila dalam pembuatannya tidak diawasi, maka dapat terjadi hal-
hal yang tidak diinginkan. Misalnya, secara sembunyi-sembunyi, benda 
semacam itu dijual kepada filatelis. Bisa juga ada yang dengan 
sengaja menggandakan artwork yang dibuat dengan komputer. 
 
Caranya, mencetak (print) gambar dari komputer itu, lalu dijual 
kepada filatelis. Bila hal ini terjadi, tentu saja yang dirugikan 
adalah Ditjen Postel, percetakan prangko, dan PT Posindo. 
 
Dalam mailing list (milis) "prangko" yang diasuh oleh filatelis 
senior Indonesia yang kini bermukim di Jepang, Richard Susilo, 
beberapa waktu lalu ada yang mengomentari kemungkinan mengenai 
beredarnya essay, nama lain dari artwork, salah satu prangko 
Indonesia di kalangan filatelis. 
 
Tentu saja ini bukan dari sumber resmi, karena sepengetahuan 
Pembaruan, sampai saat ini tidak ada penjualan secara resmi benda-
benda semacam itu kepada masyarakat luas.
 
Berkaitan dengan itu, contoh yang dilakukan Perum Peruri, sebagai 
salah satu perusahaan pencetakan sekuritas yang mencetak prangko-
prangko Indonesia, patut ditiru. 
 
Dalam rapat-rapat Tim Nasional Pembinaan Perprangkoan dan Filateli, 
yang salah satu tugasnya menetapkan desain prangko yang layak 
dicetak, Perum Peruri selalu membawa contoh-contoh desain yang 
diedarkan kepada semua peserta rapat. 
 
Namun pada akhir rapat, semua contoh desain yang sudah diedarkan, 
diminta kembali. Hal ini juga berlaku untuk desain yang ditolak dan 
tidak jadi digunakan. Tetap saja oleh pihak Perum Peruri diminta 
kembali untuk dihancurkan, agar jangan sampai desain itu keluar ke 
tangan masyarakat luas.
 
Secara Terbuka
 
Walaupun demikian, untuk mengatasi banyaknya filatelis yang ingin 
memiliki artwork dan proof sebuah desain prangko, sekaligus untuk 
menjaga jangan sampai benda-benda semacam itu keluar tidak secara 
resmi, mungkin perlu dipikirkan mekanismenya.
 
Seperti juga di beberapa negara lain, lembaga pemerintah yang 
bertugas menerbitkan dan menjual prangko (di Indonesia adalah Ditjen 
Postel dan PT Posindo), mungkin dapat menentukan dan menetapkan 
artwork atau proof prangko yang boleh dijual kepada umum.
 
TAK JADI - Sebuah "artwork" prangko Bhutan yang tak jadi diterbitkan. 
Walaupun demikian, di kalangan filatelis, benda semacam itu masih 
bernilai tinggi, seperti ditawarkan balai lelang George Alevizos 
dengan perkiraan harga US$ 400-US$ 500. 
Ada beberapa negara yang menentukan, semua artwork dan proof prangko 
yang telah berusia lebih dari 10 tahun, boleh dijual kepada umum. 
 
Lainnya menetapkan, artwork dari desain prangko yang ditolak atau 
tidak jadi diterbitkan, boleh segera dijual kepada umum. Penjualannya 
dilakukan secara terbuka, kalau perlu dilelang secara khusus.
 
Artwork dan proof ini bukan hanya untuk desain prangko, tetapi juga 
untuk desain benda filateli lainnya yang diterbitkan pemerintah. 
Contohnya, desain buklet prangko, sampul hari pertama, desain kartu 
maksimum (maximum card), dan lainnya. 
 
Hasil penjualannya tentu saja dimasukkan ke dalam kas yang resmi. 
Sedangkan penggunaan dana itu dapat dipakai untuk berbagai hal. 
 
Misalnya, pembinaan dan pengembangan filateli kepada anak-anak dan 
remaja, khususnya di kota-kota kecil. Dapat juga dipakai untuk 
membuat semacam lokakarya atau pelatihan bagi para desainer prangko, 
sehingga hasil desain prangko semakin baik lagi.
 
Bahkan bila perlu, dapat pula digunakan untuk membantu dana pembelian 
mesin cetak prangko yang lebih baik daripada yang telah ada sekarang 
di Indonesia. 
 
Tentu saja hal ini akan membantu membaiknya kualitas cetak prangko 
Indonesia. (B-8) 
 
----------------------------------------------------------
 
Last modified: 7/6/2002  
Suara Pembaruan 9 Juni 2002 
 
 HOME | Today's News | Shopping | Add URL Copyright 1999-2002  ©  SuratkabarCom Online
 |