@ Indonesia Business News SuratkabarCom | (02) Kebijakan Penerbitan Prangko Harus Dirombak
suratkabar.com

Domain For Sale


suratkabar.com
News Indonesia SuratkabarCom

A Gift For You.....

Kebijakan Penerbitan Prangko Harus Dirombak
17/02/2002 (20:00)

Click Here to Send Messege

[Kirim Pesan]

TOKYO (LoveIndonesiaPhilately) - Riuhnya pembicaraan penerbitan prangko tahun ini, tak lepas dari tinjauan khusus kepada Surat Keputusan Dirjen Postel No.81/DIRJEN/ 2000 mengenai ketentuan penerbitan prangko dan benda filateli Indonesia. Membaca SK tersebut, penulis melihat banyak sekali hal yang harus dirombak dan tampak sekali sang pembuat atau perancang SK tersebut tak memahami sepenuhnya arti filateli itu sendiri.

Lihat saja sejak awal SK Pasal 1 ayat 2 misalnya tertulis, Prangko definitif, tidak dibatasi masa jual dan masa laku, penghentian ditetapkan oleh Direktur Jenderal. Apa definisi masa laku, masa jual, sama sekali tak dijelaskan. Lalu kata "penghentian" apa maksudnya? Penghentian masa laku, penghentian masa jual atau penghentian keduanya?

Demikian pula definisi prangko Prisma sebenarnya masih harus dipertanyakan dan diperdebatkan lagi. Produk filateli baru ini didefinisikan, sebagai prangko yang diterbitkan dalam komposisi bergandengan dengan tab (label) yang diberi gambar identitas berbeda dengan prangkonya dan dipisahkan dengan perforasi.

Pertanyaan pertama, apa arti "gambar identitas berbeda"? Lalu, apakah memang harus berbeda? Pertanyaan selanjutnya, apakah memang harus dipisahkan dengan perforasi? Bukan tidak mungkin suatu waktu nanti akan ada prangko Prisma tanpa perforasi, karena memang sejak awal cetak, pemberian perforasi adalah bagian yang paling belakang dikerjakan dalam proses cetak. Jadi bisa saja tak diperforasi untuk mengefisienkan kerja, sekaligus membuat biaya produksi lebih murah.

Lalu pengertian Carik Kenangan (CK) yang mesti dibenarkan pula.

Definisi pada SK dituliskan bahwa CK adalah sehelai kertas. Yang benar, CK adalah prangko juga dengan ukuran tepian (margin) dari prangko yang jauh lebih besar daripada prangko umumnya. Lalu ditambah data teknis lain seperti bergigi atau tak bergigi serta dapat dipakai untuk pemrangkoan umumnya. Karena margin yang besar itu, maka bisa pula ditambahkan pada margin tersebut, gambar lain atau gambar yang serangkai dengan gambar/rancangan prangko yang bersangkutan. Jadi jelas-jelas, CK bukanlah sehelai kertas.

Pasal 3 ayat 3 kalau kita baca hati-hati, maka para filatelis akan tertawa habis-habisan. Tertulis, program penerbitan prangko ditetapkan pada bulan Januari dua tahun sebelumnya. Kini apa yang terjadi, jangankan dua tahun, bahkan sudah masuk tahun 2002, rencana penerbitan masih dirombak dan berubah.

Hanya Pemanis

Tampaknya SK tersebut hanya sebagai pemanis saja, sekedar ada dan mengikuti tata krama yang wajar, tanpa perasaan dan tanpa perlu takut dilanggar atau terlanggar. Akhirnya berujung alasan fleksibel. Berulangkali penulis menekankan kepada sesama filatelis, fleksibel tak ada masalahnya, tetapi yang namanya aturan, tetap harus dijalankan dan dipatuhi, jangan seenaknya dilanggar. Kalau mau hal itu lebih fleksibel, gantilah peraturan itu.

Hal ini perlu ditekankan mengingat negara lain melihat Indonesia dari segi peraturan yang ada, dari segi ketentuan tertulis yang diumumkan kepada masyarakat. Mereka tidak melihat soal fleksibel atau tidaknya, karena memang Indonesia bukan negara mereka dan tak perlu melihat sampai rinci soal fleksibel. Jadi yang mereka lihat adalah ketentuan yang ada. Kalau ketentuan yang ada saja dilanggar atau terlanggar, mau sampai di mana kepercayaan mereka kepada kita?

Akibatnya, hilang kepercayaan, bukan hanya hilang prangko, tak mau beli prangko Indonesia. Lebih parah lagi image atau kesan mereka terhadap negara Indonesia akan hancur pula. Jangan berurusan dengan Indonesia, karena orangnya nggak bisa menaati aturan, begitulah yang ada di benak mereka. Apakah kita tidak malu?

Pada bab Kriteria Prangko, ada hal yang perlu kita pikirkan bersama, khususnya pasal 11 mengenai tokoh nasional masuk ke prangko. Perlu diadakan pembatasan tokoh nasional yang telah meninggal dunia dan dapat diprangkokan. Menjadi masalah, apakah tokoh nasional yang telah meninggal dunia itu bisa setiap tahun diprangkokan? Amerika misalnya, memberi batasan sekian tahun, barulah bisa diprangkokan. Maka bagi tokoh nasional, siapa pun dia, apabila pernah diprangkokan, bisa dibuat peraturan misalnya, dapat muncul kembali setelah 25 tahun atau kelipatan 25 tahun dari hari kelahirannya.

Merupakan "Lubang"

Lalu kita lihat Bab VI mengenai usulan penerbitan, khususnya Pasal 19. Tertulis, bagi pemohon bukan lembaga pemerintah yang usulannya diterima untuk diterbitkan prangko, diwajibkan untuk membeli sekurang-kurangnya lima persen dari jumlah prangko yang diterbitkan.

Hal ini merupakan "lubang" bagi masuknya pihak komersial untuk menggunakan prangko sebagai alat promosi. Mengapa? Kewajiban pembelian lima persen itu sangat murah bagi sebagian perusahaan.

Mungkin ada yang menjawab, itu kan kalau disetujui pemerintah penerbitan prangkonya. Inilah repotnya, apa klasifikasi atau kriteria persetujuan tersebut, perlu dibeberkan kepada umum. Kalau tidak, akan muncul kongkalikong di belakang layar. Jangan sampai lubang ini termanfaatkan. Prangko adalah alat bayar, tetapi juga sejarah dan benda budaya yang harus kita jaga bersama, milik bersama, bukan milik perusahaan Pos bukan milik kelompok dan bukan milik pemerintah belaka. Oleh karena itu kontrol sosial pun perlu kita lakukan bersama kepada pihak pos, termasuk kepada Dirjen Postel sebagai penerbit prangko.

- Richard Susilo

------------------------------------------------------------------- Last modified: 15/2/2002 Suara Pembaruan 17 Feb.2002 @


HOME | Today's News | Shopping

Copyright 1999-2002 © SuratkabarCom Online