@
|
Kebijakan Penerbitan Prangko Harus Dirombak
[Kirim Pesan]
TOKYO (LoveIndonesiaPhilately) -
Riuhnya pembicaraan penerbitan prangko tahun ini, tak lepas dari
tinjauan khusus kepada Surat Keputusan Dirjen Postel No.81/DIRJEN/
2000 mengenai ketentuan penerbitan prangko dan benda filateli
Indonesia. Membaca SK tersebut, penulis melihat banyak sekali hal
yang harus dirombak dan tampak sekali sang pembuat atau perancang SK
tersebut tak memahami sepenuhnya arti filateli itu sendiri.
Lihat saja sejak awal SK Pasal 1 ayat 2 misalnya tertulis, Prangko
definitif, tidak dibatasi masa jual dan masa laku, penghentian
ditetapkan oleh Direktur Jenderal. Apa definisi masa laku, masa jual,
sama sekali tak dijelaskan. Lalu kata "penghentian" apa maksudnya?
Penghentian masa laku, penghentian masa jual atau penghentian
keduanya?
Demikian pula definisi prangko Prisma sebenarnya masih harus
dipertanyakan dan diperdebatkan lagi. Produk filateli baru ini
didefinisikan, sebagai prangko yang diterbitkan dalam komposisi
bergandengan dengan tab (label) yang diberi gambar identitas berbeda
dengan prangkonya dan dipisahkan dengan perforasi.
Pertanyaan pertama, apa arti "gambar identitas berbeda"? Lalu, apakah
memang harus berbeda? Pertanyaan selanjutnya, apakah memang harus
dipisahkan dengan perforasi? Bukan tidak mungkin suatu waktu nanti
akan ada prangko Prisma tanpa perforasi, karena memang sejak awal
cetak, pemberian perforasi adalah bagian yang paling belakang
dikerjakan dalam proses cetak. Jadi bisa saja tak diperforasi untuk
mengefisienkan kerja, sekaligus membuat biaya produksi lebih murah.
Lalu pengertian Carik Kenangan (CK) yang mesti dibenarkan pula.
Definisi pada SK dituliskan bahwa CK adalah sehelai kertas. Yang
benar, CK adalah prangko juga dengan ukuran tepian (margin) dari
prangko yang jauh lebih besar daripada prangko umumnya. Lalu ditambah
data teknis lain seperti bergigi atau tak bergigi serta dapat dipakai
untuk pemrangkoan umumnya. Karena margin yang besar itu, maka bisa
pula ditambahkan pada margin tersebut, gambar lain atau gambar yang
serangkai dengan gambar/rancangan prangko yang bersangkutan. Jadi
jelas-jelas, CK bukanlah sehelai kertas.
Pasal 3 ayat 3 kalau kita baca hati-hati, maka para filatelis akan
tertawa habis-habisan. Tertulis, program penerbitan prangko
ditetapkan pada bulan Januari dua tahun sebelumnya. Kini apa yang
terjadi, jangankan dua tahun, bahkan sudah masuk tahun 2002, rencana
penerbitan masih dirombak dan berubah.
Hanya Pemanis
Tampaknya SK tersebut hanya sebagai pemanis saja, sekedar ada dan
mengikuti tata krama yang wajar, tanpa perasaan dan tanpa perlu takut
dilanggar atau terlanggar. Akhirnya berujung alasan fleksibel.
Berulangkali penulis menekankan kepada sesama filatelis, fleksibel
tak ada masalahnya, tetapi yang namanya aturan, tetap harus
dijalankan dan dipatuhi, jangan seenaknya dilanggar. Kalau mau hal
itu lebih fleksibel, gantilah peraturan itu.
Hal ini perlu ditekankan mengingat negara lain melihat Indonesia dari
segi peraturan yang ada, dari segi ketentuan tertulis yang diumumkan
kepada masyarakat. Mereka tidak melihat soal fleksibel atau tidaknya,
karena memang Indonesia bukan negara mereka dan tak perlu melihat
sampai rinci soal fleksibel. Jadi yang mereka lihat adalah ketentuan
yang ada. Kalau ketentuan yang ada saja dilanggar atau terlanggar,
mau sampai di mana kepercayaan mereka kepada kita?
Akibatnya, hilang kepercayaan, bukan hanya hilang prangko, tak mau
beli prangko Indonesia. Lebih parah lagi image atau kesan mereka
terhadap negara Indonesia akan hancur pula. Jangan berurusan dengan
Indonesia, karena orangnya nggak bisa menaati aturan, begitulah yang
ada di benak mereka. Apakah kita tidak malu?
Pada bab Kriteria Prangko, ada hal yang perlu kita pikirkan bersama,
khususnya pasal 11 mengenai tokoh nasional masuk ke prangko. Perlu
diadakan pembatasan tokoh nasional yang telah meninggal dunia dan
dapat diprangkokan. Menjadi masalah, apakah tokoh nasional yang telah
meninggal dunia itu bisa setiap tahun diprangkokan? Amerika misalnya,
memberi batasan sekian tahun, barulah bisa diprangkokan. Maka bagi
tokoh nasional, siapa pun dia, apabila pernah diprangkokan, bisa
dibuat peraturan misalnya, dapat muncul kembali setelah 25 tahun atau
kelipatan 25 tahun dari hari kelahirannya.
Merupakan "Lubang"
Lalu kita lihat Bab VI mengenai usulan penerbitan, khususnya Pasal
19. Tertulis, bagi pemohon bukan lembaga pemerintah yang usulannya
diterima untuk diterbitkan prangko, diwajibkan untuk membeli
sekurang-kurangnya lima persen dari jumlah prangko yang diterbitkan.
Hal ini merupakan "lubang" bagi masuknya pihak komersial untuk
menggunakan prangko sebagai alat promosi. Mengapa? Kewajiban
pembelian lima persen itu sangat murah bagi sebagian perusahaan.
Mungkin ada yang menjawab, itu kan kalau disetujui pemerintah
penerbitan prangkonya. Inilah repotnya, apa klasifikasi atau kriteria
persetujuan tersebut, perlu dibeberkan kepada umum. Kalau tidak, akan
muncul kongkalikong di belakang layar. Jangan sampai lubang ini
termanfaatkan. Prangko adalah alat bayar, tetapi juga sejarah dan
benda budaya yang harus kita jaga bersama, milik bersama, bukan milik
perusahaan Pos bukan milik kelompok dan bukan milik pemerintah
belaka. Oleh karena itu kontrol sosial pun perlu kita lakukan bersama
kepada pihak pos, termasuk kepada Dirjen Postel sebagai penerbit
prangko.
- Richard Susilo
-------------------------------------------------------------------
Last modified: 15/2/2002 Suara Pembaruan 17 Feb.2002
@
HOME | Today's News | Shopping Copyright 1999-2002
© SuratkabarCom Online
|